Foto: Google |
Luas wilayah merupakan aspek penting dalam
mengetahui luas dan sebaran tanaman pertanian, perkebunan, daerah aliran
sungai, hutan, pemukiman dan lain-lainnya. Hal ini penting diketahui oleh
pemerintah dalam wilayah administrasi bersangkutan. Dengan berpegangan pada
data ini, pemerintah terutama dinas terkait dapat menerapkan kebijakan terkait
pemanfaatan lahan di wilayahnya. Maka hal tersebut harus didukung dengan data
yang sedapat mungkin tepat dan mendetail. Sebab tanpa akurasi data,
eksekusi kebijakan malah salah sasaran.
Untuk memudahkan kegiatan pemetaan serta
pendataan lahan, pembagian wilayah menjadi wilayah yang lebih kecil sangat
membantu. Dari wilayah kabupaten yang luas, dipecah-pecah lagi menjadi wilayah
kecamatan, wilayah desa, dan kemudian wilayah dusun yang lebih kecil. Dengan
wilayah yang sudah dipecah-pecah tersebut, pendataan menjadi lebih mudah karena
luas lahan yang didata telah menjadi lebih kecil. Identifikasi kepemilikan
ataupun pengelolaan lahan pun lebih mudah dilakukan. Bahkan jenis dan
produktivitas lahan lebih mudah diperoleh langsung di lapangan.
Persoalan muncul ketika pembagian wilayah
menjadi wilayah yang lebih kecil ini belum dilakukan secara baik. Hal ini
ditemui di lapangan karena keterbatasan dana, alat, maupun SDM personil
yang terlibat.
Dalam wilayah kecamatan Adonara Barat,
batas wilayah desa terutama desa yang baru dimekarkan belum dibuat secara baik.
Hal ini berpengaruh terhadap luas wilayah masing-masing desa. Peta maupun luas
wilayah di atas kertas ternyata berbeda dengan kondisi riil di lapangan.
Pada peta sejumlah desa sebelum dimekarkan,
batas-batasnya cukup mendetail. Batas tersebut cocok dengan medan/kontur
kenampakkan alam yang ada, baik berupa gunung, sungai dan laut. Tetapi pada
peta baru dimana terjadi pemekaran beberapa desa, batas yang dibuat tampak
masih asal-asalan.
Ambil contoh pada desa Waitukan. Menilik
pada peta, wilayah desa Waitukan hanya terdiri dari hutan. Tidak ada
perkampungan. Sementara wilayah kampung Duatukan dan Waitenepang malah masuk
dalam wilayah desa Duwanur. Begitu pula untuk desa Homa. Wilayah desa ini pada
peta malah meluas sampai ke Waiwadan. SDK Waiwadan dan dusun tiga Waiwadan
tercakup dalam wilayah desa Homa.
Sementara di desa Watobaya, luas wilayah
salah satu dusun malah tidak terhitung. Dusun Lewohele masih masuk dalam
wilayah desa Baya di kecamatan Adonara Tengah. Sebaliknya, sejumlah pemukiman
dan lapangan desa Kokotobo justru masuk dalam wilayah desa Watobaya. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa bukan hanya wilayah desa yang belum tepat, wilayah
kecamatan pun masih tumpang tindih (lihat contoh peta di sini).
Memang, dalam pengukuran maupun pembuatan
peta dikenal kesalahan ukur yang bisa ditolerir. Ini terjadi karena faktor
pengukur dan ketelitian alat ukur. Tetapi kesalahan tersebut masih bisa
diterima kalau dalam rentang puluhan hektar. Jika kesalahan mencapai ratusan
hektar, ini bisa menjadi masalah.
Adagium pemerintah selalu benar ala orde baru
tampaknya tidak bisa lagi berlaku di jaman ini. Di jaman ini, pengetahuan dan
informasi tidak hanya datang dari satu sumber. Informasi dapat diperoleh dari
mana saja, tidak harus dari pemerintah.
Dengan berbekal pemetaan citra satelit
dari google maps, ukuran panjang kali lebar sebuah rumah pun bisa diketahui.
Apalagi terkait luas lahan. Teknologi yang diakses gratis ini bisa mengukur
lahan dengan ketelitian mendetail. Ini tantangan bagi pemerintah. Dengan
dukungan dana dan peralatan yang lebih canggih, mengapa tidak melakukan yang
lebih baik?
(Ditulis
oleh: Simpet Soge, ST. Penulis pernah menjadi surveyor lepas pada Losta Institute
Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar