Minggu, 24 Juni 2018

Batas Desa Tumpang Tindih, Luas Lahan Sulit Didata

Foto: Google
Luas wilayah merupakan aspek penting dalam mengetahui luas dan sebaran tanaman pertanian,  perkebunan, daerah aliran sungai, hutan, pemukiman dan lain-lainnya. Hal ini penting diketahui oleh pemerintah dalam wilayah administrasi bersangkutan. Dengan berpegangan pada data ini, pemerintah terutama dinas terkait dapat menerapkan kebijakan terkait pemanfaatan lahan di wilayahnya. Maka hal tersebut harus didukung dengan data yang sedapat mungkin  tepat dan mendetail. Sebab tanpa akurasi data, eksekusi kebijakan malah salah sasaran.
Untuk memudahkan kegiatan pemetaan serta pendataan lahan, pembagian wilayah menjadi wilayah yang lebih kecil sangat membantu. Dari wilayah kabupaten yang luas, dipecah-pecah lagi menjadi wilayah kecamatan, wilayah desa, dan kemudian wilayah dusun yang lebih kecil. Dengan wilayah yang sudah dipecah-pecah tersebut, pendataan menjadi lebih mudah karena luas lahan yang didata telah menjadi lebih kecil. Identifikasi kepemilikan ataupun pengelolaan lahan pun lebih mudah dilakukan. Bahkan jenis dan produktivitas lahan lebih mudah diperoleh langsung di lapangan.
Persoalan muncul ketika pembagian wilayah menjadi wilayah yang lebih kecil ini belum dilakukan secara baik. Hal ini ditemui di lapangan karena keterbatasan dana, alat, maupun SDM personil  yang terlibat.
Dalam wilayah kecamatan Adonara Barat, batas wilayah desa terutama desa yang baru dimekarkan belum dibuat secara baik. Hal ini berpengaruh terhadap luas wilayah masing-masing desa. Peta maupun luas wilayah di atas kertas ternyata berbeda dengan kondisi riil di lapangan. 
Pada peta sejumlah desa sebelum dimekarkan, batas-batasnya cukup mendetail. Batas tersebut cocok dengan medan/kontur kenampakkan alam yang ada, baik berupa gunung, sungai dan laut. Tetapi pada peta baru dimana terjadi pemekaran beberapa desa, batas yang dibuat tampak masih asal-asalan.
Ambil contoh pada desa Waitukan. Menilik pada peta, wilayah desa Waitukan hanya terdiri dari hutan. Tidak ada perkampungan. Sementara wilayah kampung Duatukan dan Waitenepang malah masuk dalam wilayah desa Duwanur. Begitu pula untuk desa Homa. Wilayah desa ini pada peta malah meluas sampai ke Waiwadan. SDK Waiwadan dan dusun tiga Waiwadan tercakup dalam wilayah desa Homa.
Sementara di desa Watobaya, luas wilayah salah satu dusun malah tidak terhitung. Dusun Lewohele masih masuk dalam wilayah desa Baya di kecamatan Adonara Tengah. Sebaliknya, sejumlah pemukiman dan lapangan desa Kokotobo justru masuk dalam wilayah desa Watobaya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bukan hanya wilayah desa yang belum tepat, wilayah kecamatan pun masih tumpang tindih (lihat contoh peta di sini).
Memang, dalam pengukuran maupun pembuatan peta dikenal kesalahan ukur yang bisa ditolerir. Ini terjadi karena faktor pengukur dan ketelitian alat ukur. Tetapi kesalahan tersebut masih bisa diterima kalau dalam rentang puluhan hektar. Jika kesalahan mencapai ratusan hektar, ini bisa menjadi masalah.
Adagium pemerintah selalu benar ala orde baru tampaknya tidak bisa lagi berlaku di jaman ini. Di jaman ini, pengetahuan dan informasi tidak hanya datang dari satu sumber. Informasi dapat diperoleh dari mana saja, tidak harus dari pemerintah.

Dengan berbekal pemetaan citra satelit dari google maps, ukuran panjang kali lebar sebuah rumah pun bisa diketahui. Apalagi terkait luas lahan. Teknologi yang diakses gratis ini bisa mengukur lahan dengan ketelitian mendetail. Ini tantangan bagi pemerintah. Dengan dukungan dana dan peralatan yang lebih canggih, mengapa tidak melakukan yang lebih baik?
(Ditulis oleh: Simpet Soge, ST. Penulis pernah menjadi surveyor lepas pada Losta Institute Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar