Kamis, 18 Juli 2019

Infrastruktur yang Menopang Produktivitas Petani

Foto: Fanny Makyn
Sekelompok ibu-ibu sedang menjunjung barang bawaannya menuju kampung. Kita mungkin saja melewatkan pemandangan seperti ini. Toh ini peristiwa ini lumrah di desa-desa. 
Namun jika kita telisik lebih jauh, aktivitas remeh-temeh ini justru adalah penggerak mengalirnya berton-ton hasil bumi dari titik panen menuju konsumen. Kegiatan seperti ini berujung pada terpenuhinya kebutuhan pangan. Baik itu untuk konsumsi sendiri, untuk konsumen lokal maupun konsumen luar pulau bahkan hingga luar kabupaten.
Menilik foto, paling kurang ada dua data taksiran yang bisa kita ambil. Pertama, jumlah panen pisang. Pada hari itu, paling kurang ada enam puluh kilogram pisang yang diangkut dari titik panen. Itu kalau tiga orang di atas masing-masing membawa dua puluh kilogram pisang.

Data kedua yang bisa kita dapatkan adalah data jam kerja. Jika lama perjalanan pergi dan pulang ditotalkan dua jam, maka ada enam jam kerja yang dihabiskan untuk proses angkut di atas. Masing-masing orang mengahabiskan dua jam. Ini sudah mendekati satu hari kerja orang (HKO) standar yaitu delapan jam.
Untuk memudahkan perbandingan maka saya rupiahkan saja. Untuk produk pisang sebanyak 60 kilogram ditaksir harganya 210 ribu rupiah. Patokan harga per sisirnya 5 ribu rupiah. Sementara ongkos angkut sebanyak enam jam kerja ditaksir 37.500 rupiah. Ini dihitung dengan asumsi bahwa satu HKO dihargai 50 ribu rupiah. Maka, ongkos angkut per kilogram pisang tersebur ke titik konsumen mencapai 625 rupiah. Ingat angka terakhir ini untuk perbandingan.
Dari statistik Adonara Barat Dalam Angka, rata-rata panen pisang tiap desa per tahun adalah 55 ton. Umpamakan produk ini hanya diangkut dengan tenaga manusia, maka total pengeluaran HKO untuk mengangkut 55 ton pisang per desa ini adalah sebesar 34.375.000 rupiah. Patokan harga ini bisa dilihat di atas, di mana ongkos angkut per kilogramnya adalah 625 rupiah. 
Sekarang kita bandingkan ongkosnya jika diangkut dengan roda empat. Ongkos per karung 30 kilogram dengan jarak tempuh 3 - 5 kilometer dikenai tarif 5 ribu rupiah. Maka ongkos angkut rata-rata per kilogramnya adalah sebesar 166 rupiah. 
Ini hampir empat kali lebih murah dari ongkos HKO. Dan jika dikalikan dengan produksi 55 ton pisang per tahun, maka total ongkosnya hanya 9 juta rupiah. Bandingkan dengan ongkos HKO sebelumnya yang sebesar 34 juta rupiah!
Ini tentu saja penghematan pengeluaran yang lumayan besar. Hitungan ini pun hanya mencantumkan buah pisang yang nilai ekonomisnya tidak seberapa. Belum terhitung komoditi lain seperti mente yang per pekan mencapai tujuh ton sebagaimana dilaporan penimbang di Watobaya. Perputaran uang per pekan untuk mente ini besarnya ratusan juta rupiah untuk desa Watobaya saja. Belum pula kemiri, kopi, pakan ternak ataupun hasil pertanian lainnya. 
Pengurangan ongkos angkut untuk petani ini juga berdampak besar pada ketersediaan pasokan pangan, pakan ternak, juga kebutuhan air di lahan tani. Desa desa yang punya akses jalan yang baik ke lahan tani akan lebih terbantu dalam usaha mereka. Usaha penanaman, panen, serta penggemukan ternak akan membuat produktivitas mereka  lebih bersaing dengan desa lain.
Dengan mayoritas penduduk menekuni usaha tani, maka desa harus lebih siap supaya tak tertinggal. Keputusan politik pembangunan di desa harus bisa menjawab tuntutan ini. Jangan terbuai dengan dana desa yang terdengar fantastis padahal sesunguhnya hanya recehan saja.
Coba simak: satu milyar rupiah per tahun. Kalau dibagi rata kepada warga sebanyak seribu jiwa, maka masing masing orang mendapat satu juta rupiah. Jika dibagi rata per hari (365 hari) maka masing-masing hanya terima 2.700 rupiah. Tidak cukup untuk beli satu bungkus mie! (Simpet Soge, dari Atambua Kota Perbatasan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar