Foto: Fanny Makyn |
Namun
jika kita telisik lebih jauh, aktivitas remeh-temeh ini justru adalah penggerak
mengalirnya berton-ton hasil bumi dari titik panen menuju konsumen. Kegiatan
seperti ini berujung pada terpenuhinya kebutuhan pangan. Baik itu untuk
konsumsi sendiri, untuk konsumen lokal maupun konsumen luar pulau bahkan hingga
luar kabupaten.
Menilik
foto, paling kurang ada dua data taksiran yang bisa kita ambil. Pertama, jumlah
panen pisang. Pada hari itu, paling kurang ada enam puluh kilogram pisang yang
diangkut dari titik panen. Itu kalau tiga orang di atas masing-masing membawa
dua puluh kilogram pisang.
Data
kedua yang bisa kita dapatkan adalah data jam kerja. Jika lama perjalanan pergi
dan pulang ditotalkan dua jam, maka ada enam jam kerja yang dihabiskan untuk
proses angkut di atas. Masing-masing orang mengahabiskan dua jam. Ini sudah
mendekati satu hari kerja orang (HKO) standar yaitu delapan jam.
Untuk
memudahkan perbandingan maka saya rupiahkan saja. Untuk produk pisang sebanyak
60 kilogram ditaksir harganya 210 ribu rupiah. Patokan harga per sisirnya 5
ribu rupiah. Sementara ongkos angkut sebanyak enam jam kerja ditaksir 37.500
rupiah. Ini dihitung dengan asumsi bahwa satu HKO dihargai 50 ribu rupiah.
Maka, ongkos angkut per kilogram pisang tersebur ke titik konsumen mencapai 625
rupiah. Ingat angka terakhir ini untuk perbandingan.
Dari
statistik Adonara Barat Dalam Angka, rata-rata panen pisang tiap desa per tahun
adalah 55 ton. Umpamakan produk ini hanya diangkut dengan tenaga manusia, maka
total pengeluaran HKO untuk mengangkut 55 ton pisang per desa ini adalah
sebesar 34.375.000 rupiah. Patokan harga ini bisa dilihat di atas, di mana
ongkos angkut per kilogramnya adalah 625 rupiah.
Sekarang
kita bandingkan ongkosnya jika diangkut dengan roda empat. Ongkos per karung 30
kilogram dengan jarak tempuh 3 - 5 kilometer dikenai tarif 5 ribu rupiah. Maka
ongkos angkut rata-rata per kilogramnya adalah sebesar 166 rupiah.
Ini
hampir empat kali lebih murah dari ongkos HKO. Dan jika dikalikan dengan
produksi 55 ton pisang per tahun, maka total ongkosnya hanya 9 juta rupiah.
Bandingkan dengan ongkos HKO sebelumnya yang sebesar 34 juta rupiah!
Ini
tentu saja penghematan pengeluaran yang lumayan besar. Hitungan ini pun hanya
mencantumkan buah pisang yang nilai ekonomisnya tidak seberapa. Belum terhitung
komoditi lain seperti mente yang per pekan mencapai tujuh ton sebagaimana
dilaporan penimbang di Watobaya. Perputaran uang per pekan untuk mente ini
besarnya ratusan juta rupiah untuk desa Watobaya saja. Belum pula kemiri, kopi,
pakan ternak ataupun hasil pertanian lainnya.
Pengurangan
ongkos angkut untuk petani ini juga berdampak besar pada ketersediaan pasokan
pangan, pakan ternak, juga kebutuhan air di lahan tani. Desa desa yang punya
akses jalan yang baik ke lahan tani akan lebih terbantu dalam usaha mereka.
Usaha penanaman, panen, serta penggemukan ternak akan membuat produktivitas
mereka lebih bersaing dengan desa lain.
Dengan
mayoritas penduduk menekuni usaha tani, maka desa harus lebih siap supaya tak
tertinggal. Keputusan politik pembangunan di desa harus bisa menjawab tuntutan
ini. Jangan terbuai dengan dana desa yang terdengar fantastis padahal
sesunguhnya hanya recehan saja.
Coba
simak: satu milyar rupiah per tahun. Kalau dibagi rata kepada warga sebanyak
seribu jiwa, maka masing masing orang mendapat satu juta rupiah. Jika dibagi
rata per hari (365 hari) maka masing-masing hanya terima 2.700 rupiah. Tidak
cukup untuk beli satu bungkus mie! (Simpet Soge, dari Atambua Kota Perbatasan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar