Senin, 20 Juli 2020

Mengapa Talud dan Lorong Belum Mendesak Untuk Dibangun: Sebuah Opini Tentang Prioritas Pembangunan di Desa Watobaya

Mengapa talud dan lorong belum mendesak untuk dibangun? Jawaban singkatnya: karena proritas utama adalah Jalan Usaha Tani (JUT). Ada apa dengan jalan usaha tani ini? Mari simak uraian berikut.

Pendahuluan

Kegiatan pembangunan di desa biasanya melalui rangkaian tahapan dari rencana, proyeksi pemanfaatan, dan dapat menggunakan pendekatan alat analisa semacam SWOT dan sejenisnya. Ada pula penggunaan alat lain untuk menentukan prioritas yaitu berpatokan pada jumlah kelompok pemanfaat atau penerima dampak. Dari kalkulasi sejumlah faktor yang kemudian dialihkan ke angka-angka tersebut, ditentukanlah prioritas berdasarkan pemeringkatan pilihan kegiatan pembangunan yang mana yang lebih mendesak dan patut didahulukan. Sementara secara proses usulan pun melalui penjaringan usulan pembangunan dari identifikasi masalah melalui pertemuan dari setiap dusun.

Sejumlah proses di atas ada yang berupa proses baku dan ada yang merupakan proses opsional/fakultatif yaitu disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Pihak pelaksana maupun fasilitator menggunakan beragam strategi pendekatan supaya kegiatan pembangunan baik fisik dan pemberdayaan berdampak sebesar-besarnya bagi kemajuan desa yang dilayani supaya dapat bersaing dengan desa-desa lain.

Di Watobaya, kita telah lihat sendiri bagaimana dalam waktu singkat sebuah bottleneck transportasi telah dapat diatasi yaitu Jalan Usaha Tani (JUT) Lamawolo-Trans Adonara ke Waiwadan. Dampaknya luar biasa besar: jarak lima kilometer tersebut dapat ditempuh dengan mudah dan dalam waktu singkat, membuat Watobaya menjadi semakin berarti sebagai sebuah wilayah penyangga untuk ibukota kecamatan di Waiwadan.

Jalur JUT tersebut juga merupakan catatan kesuksesan tersendiri dilihat dari jumlah pemanfaat yang bertambah dari hari ke hari. Sementara dilihat dari volume pekerjaan, jarak ruas jalan yang dibangun progresnya dari tahun ke tahun cukup besar. Ini menunjukkan bahwa pemerintah desa berkonsentrasi baik terhadap upaya pembangunan ini. Nilai swadaya material dan tenaga kerja, juga agregasi kepentingan dan politik pembangunan yang baik membuat konsentrasi pembangunan fisik yang menyasar infrastruktur ini berjalan baik tanpa gejolak yang berarti.

Di pihak lain dari sisi ekonomi, jumlah penduduk adalah salah satu faktor modal yang besar. Watobaya mempunyai jumlah penduduk yang cukup signifikan dan punya kensekwensi terhadap kegiatan usaha produktif. Banyak kegiatan usaha mulai tumbuh di dalam wilayah desa: transportasi, distribusi komoditi dan hasil alam, konstruksi, perbengkelan, maupun usaha tani, ternak dan perkebunan rakyat yang merupakan akibat langsung dari kemudahan transportasi yang mendekatkan dan memudahkan akses antara produsen dan pengguna. Dukungan pemerintah terhadap usaha-usaha ekonomi sektor jasa dan sektor riil tersebut antara lain telah dan sedang dilakukan dengan membuka kemudahan akses berupa infrastruktur jalan untuk menopang beberapa jenis usaha ini.


Tentang Prioritas
Pembangunan di manapun yang dilakukan oleh pemerintah utamanya untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diukur dan dihitung tidak mengenal subyek orang per orang tetapi melihat total pertumbuhan dalam suatu wilayah secara keseluruhan. Semua alur proses transaksi ekonomi diperhitungkan. Semakin beragam serta intensif suatu kegiatan ekonomi berlangsung, maka pertumbuhan ekonomi wilayah bersangkutan makin meningkat. Secara regional di dalam wilayah kabupaten misalnya, pertumbuhan ekonomi dinilai antara lain dari jumlah produksi hasil bumi, laut, industri dan transaksi jasa yang berlangsung yang kemudian tersaji dalam Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB)

Dengan demikian, perencanaan pembangunan, baik dari agregasi usulan masyarakat maupun keputusan politik pemerintah periode bersangkutan harus mengesampingkan kepentingan kelompok-kelompok baik teritorial maupun kategorial, tetapi secara murni menggunakan analisa rantai suplai sumber daya ekonomi yang ada secara keseluruhan dalam wilayah desa, tidak memperhitungkan siapa pelaku kegiatan ekonomi yang bersangkutan.

Analisa rantai suplai akan membuka wawasan tentang prioritas apa yang didahulukan sebagai dasar bagi prioritas-prioritas yang lain yang juga tidak kalah pentingnya. Pandangan ini yang persisnya saya jadikan judul dari tulisan singkat ini.

Untuk memulai analisa, mari kita awali dengan melihat kronologis umum berdirinya sebuah wilayah hunian. Wilayah hunian kita berdiri dengan sejumlah faktor prasyarat yang telah teruji dalam waktu yang panjang. Hunian biasanya menempati wilayah dengan kontur permukaan berupa dataran yang lebih luas dari wilayah sekitar. Keputusan nenek moyang untuk menempati hunian ini kita nilai tepat karena mereka telah menjelajah dan menemukan lokasi yang paling layak: dataran yang luas, dekat dengan sumber alam (air, makanan), juga bila perlu aman dari gangguan musuh (bliwan gere).

Berdirinya sebuah hunian tidak langsung diawali dengan hunian permanen tetapi cenderung berpindah sesuai dengan kedekatan dengan daya dukung alam berupa SDA yang memadai. Jumlah penduduk yang belum terlalu besar memungkinkan kemudahan berpindah mengikuti daya dukung lingkungan. Namun seiring bertambahnya waktu, perlu dibangun suatu hunian yang permanen dalam kelompok besar sebagaimana yang kita huni hari ini.

Tantangannya ada di depan mata: bagaimana daya dukung lingkungan terhadap aktivitas dan pemenuhan kebutuhan ekonomi warga? Kebutuhan air dan pangan, material konstruksi sarana dan pemukiman, semuanya harus dapat mendukung kebutuhan dengan jumlah penduduk yang berlipat ganda. Semuanya harus dapat dipenuhi dengan cepat dan efisien, dan tidak memerlukan pengerahan terlalu banyak biaya modal dan tenaga kerja. Apa persisnya sarana yang memungkinkannya? Ya Jalan Usaha Tani.

Kegiatan usaha tani adalah jantung dari kehidupan desa. Dan jalan usaha tani adalah urat nadinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa nilai perdagangan hasil-hasil bumi kita jauh di atas jumlah dana desa. Total panen hasil dalam wilayah desa nilainya milyaran setiap tahun. Dan jika pemerintah desa jeli, dana desa dimanfaatkan untuk mendorong produksi hasil bumi ini baik tani, hutan, ternak dan lainnya. Maka hasil produksi secara luas akan berlipat ganda dan roda ekonomi desa akan lebih mulus melaju.

Bercermin dari kronologi yang saya singgung di atas, jika pada jaman dahulu nenek moyang kita berusaha mendekatkan hunian ke sumber alam, maka saat ini hadirnya anggaran pemerintah memungkinkan kita mendekatkan sumber alam ke wilayah hunian atau titik transaksi ekonomi. Dengan demikian generasi-generasi ke depan akan memandang bahwa keputusan pemilihan prioritas pembangunan kita baik adanya.

Jalan Usaha Tani
Dalam menganalisa kebutuhan jaringan jalan, saya biasanya menggunakan perumpamaan pipa. Dalam perumpamaan pipa, jumlah pengguna jaringan jalan (aliran barang maupun orang) dapat diumpamakan sebagai debit air. Maka Jalan Raya Trans Adonara dapat diumpamakan sebagai pipa induk, JUT dapat diumpamakan sebagai pipa pembagi dan lorong dari rumah ke rumah dapat diumpamakan sebagai keran air.

Pipa induk debit airnya harus besar. Seperti pasokan air untuk sejumlah besar desa mengalir pada sebuah pipa induk, maka lalulintas skala besar bergerak melalui jalan trans Adonara ini. Semua hasil produksi yang keluar dari desa pun harus melewati jalan trans Adonara sebelum dibawa ke pasar. Aliran orang dan barang menuju ke Jalan Trans Adonara yang berjumlah besar ini perlu difasilitasi supaya mendapatkan prioritas utama untuk terhubung ke JUT utama.

Prioritas berikutnya adalah JUT yang menjangkau daerah lahan tani maupun material konstruksi. Jalan Usaha Tani yang menembus ke segenap lahan tani akan mendorong kemudahan mobilisasi bahan dan tenaga kerja. Hasil-hasil panen, bibit dan tenaga kerja akan mudah dimobilisir dalam jumlah besar. Sarana pendukung lain semisal lumbung ataupun kebutuhan air akan lebih mudah dibangun dan dipasok. Pedagang pun akan nyaman melakukan transaksi langsung di kebun-kebun dan mengurangi biaya transaksi pedagang perantara.

JUT yang mendekatkan jangkauan ke material konstruksi akan membuat akses warga menjadi lebih mudah. Otomatis biaya modal yang dikeluarkan untuk belanja bahan konstruksi akan berkurang drastis. Dampaknya, masyarakat akan lebih mampu untuk membeli atau menjual material tersebut dan sudah pasti tingkat kesejahteraanya meningkat. Dengan kemampuan keuangan individu maupun kelompok yang lebih baik, masyarakat akan lebih berdaya dan tidak terlalu tergantung pada pemerintah untuk urusan pembangunan konstruksi yang lebih sekunder misalnya pengadaan talud dan lorong. Contohnya selama ini material pasir kita datangkan dari luar desa. Padahal Watobaya sendiri memiliki material galian jenis C ini. Dengan akses JUT ke lokasi material, dampaknya nanti akan terasa: harga galian C akan menjadi lebih murah. Batu dan pasir lebih mudah diangkut dengan biaya rendah. Aliran uang hasil transaksi ekstraktif dan jasa angkutan ini pun akan berputar di dalam desa dan bermanfaat untuk menambah nilai pendapatan bruto. Pembangunan selanjutnya baik sarana umum maupun individu akan menjadi lebih cepat dan murah karena kedekatan material konstruksi akan memangkas banyak waktu, modal dan tenaga kerja.

Prioritas yang terakhir adalah lorong. Walaupun lorong terletak di depan mata kita, pemanfaatannya justru tidak signifikan selama JUT belum eksensif dimanfaatkan. Total lalulintas barang dan orang dalam lorong tidak sebanyak JUT karena lorong adalah ranting terkecil dari jaringan jalan. Namun justru di sini ada paradoksnya. Jika kebutuhan lorong diminta untuk dipenuhi terlebih dahulu, total panjang lorong dalam kampung malah bisa menyaingi panjang JUT utama. Pembangunannya bisa menggunakan material setara dengan JUT namun pemanfaatannya minim. Pembangunan lorong secara massif yang dibiayai dari dana desa ini bisa-bisa membuat kita abai membangun JUT yang sebenarnya lebih penting.

Nah menegaskan dari perumpamaan pipa induk di atas, maka prioritas pembangunan yang harus lebih dahulu dicapai adalah menjangkau pipa induk (Trans Adonara) menyusul pipa pembagi (JUT) kemudian menuju tahap terakhir yaitu lorong yang diumpamakan sebagai keran. Membalikkan alur pembangunan di atas akan membuat kita kehilangan banyak waktu mengejar ketertinggalan desa kita dari sisi ekonomi.

Sejauh ini di Watobaya, sejak PPIP 2013 hingga dana desa 2019, pemerintah desa telah mengambil pilihan tepat membangun JUT Barat sebagai prioritas utama berlanjut ke JUT Timur 3 kilometer di utara Lewohele. Berikutnya adalah dua JUT utama ke selatan dengan total 3 kilometer. Jika prioritas pertama ini sudah tercapai, maka selanjutnya patut dibangun JUT tambahan yang menembus ke semua sumber pasokan bahan mentah.

Untuk Watobaya sendiri, paling sedikit ada empat JUT utama dan enam JUT tambahan yang patut jadi prioritas pembangunan. JUT utama ini sepanjang 10.8 kilometer, dua terdapat di barat, yaitu Lamawolo ke utara 5.5 km menuju jalan trans Adonara dan 1, 2 km ke selatan dari Keropuken menuju arah Lela terus ke Wai Ua antara Kokotobo-Waihelan. Sementara di timur ada JUT Lewohele sepanjang 3 kilometer ke arah Waitukan dan Lamalewa ke arah Kuyo sekitar 1.1 kilometer. Diproyeksikan jika dalam setiap tahun dipenuhi alokasi 1 kilometer, maka dalam 6 tahun ke depan (2027) JUT utama ini dapat terselesaikan.

Berikutnya adalah JUT tambahan sepanjang 6.7 kilometer yaitu dari Sawah ke Riangpao 2 kilometer, ke wilayah Woten menuju Kayo Topo 0.85 kilometer, Halenawa ke utara 1 kilometer, Lewohele ke selatan 300 meter, Lamalewa ke utara 1.4 kilometer dan penghubung Tana Iku ke JUT Barat 1.2 kilometer. JUT tambahan ini dapat diselesaikan dalam 7 tahun berikutnya (hingga (2034). Jika JUT Barat yang merupakan ruas terpanjang (5.5 kilometer lebih) sudah diselesaikan, maka sisa ruas jalan berikutnya lebih mudah dikerjakan dengan metode padat karya tunai yang sama.

Mayoritas rantai suplai ekonomi di desa kita bergantung pada kemudahan akses jalan ini. Segenap kegiatan jasa: dari jasa pendidikan, penyelenggaraan pemerintahan, transportasi dan distribusi hasil, konstruksi, semuanya dipermudah dan dipermurah oleh hadirnya akses jalan. Semua usaha riil: produksi hasil tani, penggemukan hewan, quary atau tambang galian C, juga ikut menikmati kemudahan dengan tersedianya jalan. Tentu saja kualitas konstruksi fasilitas jalan pun mesti mendapat perhatian penuh, setidaknya menjangkau puluhan tahun pakai sebelum rusak dan dapat dibangun kembali.

JUT Menopang Sektor Lain
Dengan prioritas pembangunan menyasar JUT, apakah pembangunan lainnya terabaikan? Justru tidak. Pembangunan JUT malah akan mendukung aspek pembangunan lainnya, baik fisik maupun pemberdayaan. Contohnya pada program gempur stunting yang digagas salah satu LSM, pada buku panduan program setidaknya memuat ide bahwa masalah akses terhadap sumber pangan adalah salah satu faktor penentu.

Untuk desa Watobaya yang tanahnya subur, masalah akses pangan tidak terletak pada sumber pangan tetapi pada distribusi hasil pangan untuk konsumsi keluarga. Kasarnya, kita punya sumber gizi, dari ikan di laut, sayur-sayuran di kebun dan tanaman sumber karbohidrat yang melimpah. Namun untuk mendatangkan pangan dari sumbernya ke piring butuh usaha yang besar karena kesulitan akses transportasi ini. Kemudahan distribusi pangan dengan hadirnya JUT akan menyelesaikan persoalan ini langsung ke akar masalahnya.

Contoh lain untuk pembangunan Rumah Layak Huni (RLH). Watobaya tak kesulitan material batu dan pasir. Jika JUT sudah dibuka, mendatangkan material batu dan pasir dari dalam wilayah desa akan lebih mudah dan murah. Individu orang per orang atau kelompok kecil bisa punya kemampuan keuangan memadai untuk membangun secara swadaya. Begitu pula untuk air bersih ke lahan tani. Jaringan pipa, embung atau bak ke areal pertanian akan lebih mudah dibangun karena pasokan material konstruksi mudah dibawa ke sana setelah dibangunnya JUT.

Sumber Lain Pendanaan Anggaran Pembangunan
Sumber dana anggaran pembangunan tidak saja berasal dari dana desa tetapi juga dari dana swadaya masyarakat. Dalam curah gagasan dari setiap dusun bisa diusulkan pula swadaya pembangun yang nantinya menjadi asset desa. Pembangunan lorong dan parit serta talud di dalam desa bisa memanfaatkan anggaran dana swadaya ini. Di sini, dana desa dimanfaatkan untuk paket kegiatan dengan paket pekerjaan bernilai dan berdampak besar seperti JUT sementara paket pekerjaan dengan nilai kecil memanfaatkan dana swadaya.

Penutup
Jika akses ke sumber ekonomi menjadi mudah, kegiatan ekonomi menjadi lebih hidup, maka laju pertumbuhan ekonomi akan terpacu dan pembangunan pada aspek lainnnya akan mudah diselesaikan.

Tugas kita saat ini adalah bagaimana mendiskusikan gagasan-gagasan pembangunan secara kritis dan terbuka, mempertanyakan dan mempertajam lagi ide pembangunan yang ada. Semuanya akan berujung pada curah gagasan dari perwakilan masyarakat dan kelompok kepentingan dalam forum-forum resmi penyusunan rencana pembangunan desa.

Dengan anekaragam pemikiran alternatif, maka penyusunan program dan kegiatan pembangunan tidak sekadar formalitas belaka sebagai sebuah tahapan baku tetapi sungguh menjadi sebuah rencana yang kritis, punya dasar pijak pada data, dan pada akhirnya menjawab kebutuhan masyarakat yang telah mempercayakan hajat hidupnya pada pemerintah sebagai pemegang palu keputusan pembangunan. (Simpet Soge, warga Desa Watobaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar