Foto: Rahman Sabon Nama |
Ilustrasi
Di
desa Watobaya, berbagai festival budaya lokal pelaksanaannya masih diteruskan hingga kini.
Meski demikian, pelaksanaan event tersebut tidak rutin. Partisipasinya pun
masih longgar atau tidak diwajibkan. Di bawah ini ada beberapa festival yang
hingga dewasa ini masih berlangsung.
Kenduri kampung
Kenduri
kampung atau secara lokal dikenal dengan nama 'pau nuba' atau nama lain, adalah
festival budaya yang melibatkan anggota masyarakat adat yang memiliki kesamaan
asal-usul secara patrilineal.
Festival
ini dimulai ketika masyarakat setempat yang mulanya hidup terpisah-pisah mulai
diorganisir. Keberadaan mereka diresmikan melalui penempatan nuba. Nuba
dianggap sebagai altar pusat kehidupan masyarakat adat setempat.
Menurut
penelitian, event ini populer saat Lamaholot masih di bawah pengaruh Majapahit
dengan raja lokal bernama Sira Demong Pago Molang (Abad XV). Penguasa politis dan
serimonial ini berkedudukan di Lewonama, di kaki Ile Mandiri (kini Larantuka).
Penempatan nuba bisa sebatas organisasi suku (klan), lewo (kampung), atau kesatuan
adat yang lebih besar dan menjangkau beberapa kampung.
Dalam
waktu-waktu tertentu sesuai kesepakatan tokoh masyarakat adat, event ini
dilaksanakan baik secara sederhana maupun secara meriah. Jelang festival, seluruh masyarakat adat datang
untuk membersihkan nuba. Pada saat event berlangsung, dilakukan pawai dengan
pernak pernik adat menuju nuba disusul pengorbanan hewan di atas batu altar
nuba. Festival ini diakhiri dengan pentas budaya dan santap bersama.
Tolak bala
Festival
tolak bala biasa dilakukan kala terjadi bencana lingkungan/hama pertanian.
Festival ini dilakukan dengan simbolisasi mengantar hama pengganggu menuju ke
laut. Festival ini melibatkan arak-arakan pawai dengan sejumlah pernak-pernik
budaya. Festival ini diakhiri dengan pentas budaya (sole oha) dan berjaga sepanjang malam di pantai.
Panen Baru
Setiap
selesai musim panen, sering dilakukang serimonial panen baru. Secara lokal,
festival ini dikenal dengan nama 'rekang
wuun', yaitu menyambut hasil penenan baru. Tradisi pertanian ini tersebar
luas di wilayah Indonesia, termasuk juga di desa Watobaya.
Di
desa Watobaya, event ini berlangsung sehari setelah hari pasar Waiwadan, yaitu
pada hari Minggu. Tradisi ini diorganisir oleh garis keturunan wanita dan
menghimpun kaum wanita dari berbagai tempat yang masih memiliki garisa darah
yang sama.
Tradisi
ini memiliki legitimasi kuat dalam sejarah, karena kultur pertanian mula-mula
berasal dari kaum wanita. Di jaman prasejarah, ketika kaum lelaki sibuk
berburu, kaum wanita mulai melakukan domestifikasi, yakni mengubah tanaman
hutan menjadi tanaman pertanian. (Simpet
Soge, dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar