Jumat, 15 Juni 2018

Masih Sporadis, Festival Budaya Belum Terorganisir

Foto: Rahman Sabon Nama
Ilustrasi

Meski event budaya merupakan salah satu destinasi wisata, perhatian pemerintah desa untuk mengorganisir event tampaknya masih minim. Festival budaya lokal masih dilakukan dan diorganisir sendiri oleh kepemimpinan adat setempat. Akibatnya, publikasi maupun informasi mengenai event-event ini hanya menjangkau kalangan terbatas.
Di desa Watobaya, berbagai festival budaya lokal pelaksanaannya masih diteruskan hingga kini. Meski demikian, pelaksanaan event tersebut tidak rutin. Partisipasinya pun masih longgar atau tidak diwajibkan. Di bawah ini ada beberapa festival yang hingga dewasa ini masih berlangsung.

Kenduri kampung
Kenduri kampung atau secara lokal dikenal dengan nama 'pau nuba' atau nama lain, adalah festival budaya yang melibatkan anggota masyarakat adat yang memiliki kesamaan asal-usul secara patrilineal.
Festival ini dimulai ketika masyarakat setempat yang mulanya hidup terpisah-pisah mulai diorganisir. Keberadaan mereka diresmikan melalui penempatan nuba. Nuba dianggap sebagai altar pusat kehidupan masyarakat adat setempat.
Menurut penelitian, event ini populer saat Lamaholot masih di bawah pengaruh Majapahit dengan raja lokal bernama Sira Demong Pago Molang (Abad XV). Penguasa politis dan serimonial ini berkedudukan di Lewonama, di kaki Ile Mandiri (kini Larantuka). Penempatan nuba bisa sebatas organisasi suku (klan), lewo (kampung), atau kesatuan adat yang lebih besar dan menjangkau beberapa kampung.
Dalam waktu-waktu tertentu sesuai kesepakatan tokoh masyarakat adat, event ini dilaksanakan baik secara sederhana maupun secara meriah. Jelang  festival, seluruh masyarakat adat datang untuk membersihkan nuba. Pada saat event berlangsung, dilakukan pawai dengan pernak pernik adat menuju nuba disusul pengorbanan hewan di atas batu altar nuba. Festival ini diakhiri dengan pentas budaya dan santap bersama.

Tolak bala
Festival tolak bala biasa dilakukan kala terjadi bencana lingkungan/hama pertanian. Festival ini dilakukan dengan simbolisasi mengantar hama pengganggu menuju ke laut. Festival ini melibatkan arak-arakan pawai dengan sejumlah pernak-pernik budaya. Festival ini diakhiri dengan pentas budaya (sole oha) dan berjaga sepanjang malam di pantai.

Panen Baru
Setiap selesai musim panen, sering dilakukang serimonial panen baru. Secara lokal, festival ini dikenal dengan nama 'rekang wuun', yaitu menyambut hasil penenan baru. Tradisi pertanian ini tersebar luas di wilayah Indonesia, termasuk juga di desa Watobaya.
Di desa Watobaya, event ini berlangsung sehari setelah hari pasar Waiwadan, yaitu pada hari Minggu. Tradisi ini diorganisir oleh garis keturunan wanita dan menghimpun kaum wanita dari berbagai tempat yang masih memiliki garisa darah yang sama.
Tradisi ini memiliki legitimasi kuat dalam sejarah, karena kultur pertanian mula-mula berasal dari kaum wanita. Di jaman prasejarah, ketika kaum lelaki sibuk berburu, kaum wanita mulai melakukan domestifikasi, yakni mengubah tanaman hutan menjadi tanaman pertanian. (Simpet Soge, dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar